“Hati Berat tapi Bahagia: Piala Presiden Pamit Dulu, Kenangan yang Tak Terlupakan”

” Piala Presiden Pamit Dulu, Hati Berat tapi Bahagia,” demikian ujar Ketua Steering Committee Maruarar Sirait ketika menutup Piala Presiden 2025 yang spesial itu.
Piala Indonesia boleh dibilang adalah penyelamat sepakbola Indonesia yang pernah terpuruk gara-gara sanksi FIFA.
Mundur ke 2015, sanksi FIFA membekukan seluruh aktivitas sepakbola nasional. Kompetisi berhenti, klub kehilangan arah, pemain-pemain terbaik tak punya panggung untuk menunjukkan kualitas. Di tengah situasi yang kacau itu, muncul secercah harapan dalam bentuk turnamen bernama Piala Presiden.
Gagasan ini datang dari sosok yang tidak terduga. Dia adalah Maruarar Sirait, yang ternyata memiliki perhatian besar terhadap sepakbola nasional. Dia melihat perlunya ruang kompetitif yang dapat menjaga semangat para pemain dan klub di saat liga resmi belum bisa digelar secara normal.
Edisi pertama Piala Presiden digelar di tengah kondisi yang serba darurat. Namun, layaknya manusia yang kerap melahirkan keajaiban dari posisi terjepit, Piala Presiden pun demikian.
Dari keterbatasan itulah justru lahir tonggak penting kebangkitan sepakbola nasional. Maruarar benar-benar membangun Piala Presiden dari nol, dimulai dengan konsep turnamen profesional yang terbuka dan transparan.
Bahkan dana yang dibutuhkan menggelar ajang tersebut semuanya berasal dari sponsor swasta, tidak ada sepeser pun uang negara, baik itu APBN, APBD, hingga BUMN! Ini seperti membuktikan bahwa sepakbola Indonesia bisa jadi industri besar jika dikelola dengan benar.
Bahkan demi menjamin akuntabilitas, Maruarar menghadirkan auditor internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) sejak edisi pertama. Transparansi dan kredibilitas menjadi kunci utama Piala Presiden.
Sebab dari sebuah kejujuran dan keterbukaan, bakal lahir juga turnamen yang berkualitas dan bisa memberikan hiburan untuk rakyat.